Hanya dengan pangan yang aman, percepatan penurunan tengkes dapat dicapai.
PURWIYATNO HARIYADI, Guru Besar Teknologi Pangan IPB University
Only when food is safe will it meet nutritional needs and help adults to live an active and healthy life and children to grow and develop. (FAO/WHO, 2022. A Guide to World Food Safety Day 2022).
Indonesia mempunyai tantangan pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang nyata, yaitu mengurangi angka prevalensi tengkes (stunting).
Pada dokumen berjudul “Pelaksanaan Pencapaian TPB/SDGs Tahun 2021” oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (terbit Desember 2022) dilaporkan bahwa dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, diperoleh data yang menunjukkan penurunan prevalensi tengkes balita sebesar 3,27 persen, dari 27,67 persen (2019) menjadi 24,4 persen (2021).
Angka prevalensi ini meleset 3,3 persen dari target, yaitu 21,1 persen pada 2021. Belakangan, Kementerian Kesehatan melaporkan, SSGI 2022 menunjukkan penurunan prevalensi tengkes, dari 24,4 persen (2021) menjadi 21,6 persen (2022), yang juga masih di atas taget 2021.
Lebih dari satu dari lima anak balita Indonesia mengalami tengkes. Tingginya prevalensi tengkes pada anak balita menjadi problem SDM karena konsekuensi negatifnya pada kemampuan kognisi dan kinerja pendidikan.
Tingginya prevalensi tengkes pada anak balita menjadi problem SDM karena konsekuensi negatifnya pada kemampuan kognisi dan kinerja pendidikan.
Saat dewasa nanti, berpotensi mempunyai kinerja kognitif, produktivitas, dan pendapatan lebih rendah.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan, hambatan pada pertumbuhan tinggi badan anak usia dini berhubungan dengan risiko morbiditas dan mortalitas, penyakit tidak menular di kemudian hari, serta kemampuan kognitif, bahasa, dan sensorik-motorik.
Karena signifikansinya yang besar terhadap kualitas SDM, khususnya dalam menyongsong Indonesia Emas (2045), pemerintah menetapkan target penurunan prevalensi tengkes ini mencapai angka 14 persen pada 2024.
Jika prevalensi saat ini mencapai 21,6 persen, dalam dua tahun ke depan harus turun 7,6 persen. Sungguh target berat, tetapi mulia dan nyatanya sudah dua tahun selalu tidak mencapai target.
Di antaranya, sejak 2021 diterbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia, No 72 (2021) tentang Percepatan Penurunan Stunting. Pada Perpres 72 (2021) diuraikan cukup detail tentang Strategis Nasional Percepatan Penurunan Stunting.
Tujuannya, (i) menurunkan prevalensi stunting, (ii) meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga, (iii) menjamin pemenuhan asupan gizi, (iv) memperbaiki pola asuh, (v) meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan; dan (vi) meningkatkan akses air minum dan sanitasi.
Keamanan pangan
Keamanan pangan adalah prasyarat pangan. FAO secara tegas menyatakan If it’s not safe, it’s not food. Maknanya, yang pertama dan utama dari pangan adalah harus aman.
Namun, karena sifatnya sebagai prasyarat itu, keamanan pangan justru sering terpinggirkan. Pada upaya strategis nasional Percepatan Penurunan Stunting di atas (Perpres) tidak secara eksplisit dinyatakan pentingnya penjaminan keamanan pangan.
Padahal ”hanya jika aman maka asupan pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi, membantu orang dewasa untuk hidup aktif dan sehat, serta anak-anak untuk tumbuh dan berkembang” (FAO/WHO (2022)).
Hanya dengan pangan yang aman, percepatan penurunan tengkes dapat dicapai.
Hanya dengan pangan yang aman, percepatan penurunan tengkes dapat dicapai. Maka itu, penulis berpandangan salah satu penyebab belum tercapainya target penurunan prevalensi tengkes ini karena masih belum memberi perhatian serius pada aspek keamanan pangan.
Penyebab tengkes memang sangat kompleks. Juga telah diketahui secara luas penjaminan asupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (dari masa kehamilan hingga bayi berusia dua tahun) merupakan masa paling kritis untuk mencegah tengkes.
Namun perlu diingat, penjaminan keamanan pangan merupakan prasyarat intervensi gizi yang sukses. Menurut WHO, praktik keamanan pangan yang buruk, misalnya kondisi sanitasi yang buruk, merupakan kontributor yang signifikan untuk stunting.
Namun tidak hanya itu, kondisi bahan pangan baku, kondisi penanganan, fasilitas produksi, semuanya akan bermuara pada keamanan pangan produk yang dikonsumsi.
Contohnya, kondisi pengeringan bahan baku pangan yang buruk di lapangan, berkontribusi terhadap tumbuhnya jamur penghasil toksin yang berujung pada produk akhir yang dikonsumsi.
Perhatian terhadap kandungan aflatoksin (racun berbahaya yang diproduksi jamur Aspergillus flavus) pada jagung, kacang tanah, dan berbagai rempah-rempah–misalnya– perlu ditingkatkan.
Perhatian terhadap kondisi sanitasi dan higiene berbagai usaha pangan skala mikro dan kecil (UMK) juga perlu ditingkatkan. Sebab, banyak keluarga kurang/tidak mampu yang anaknya rentan tengkes, menggantungkan pangan produksi UMK, yang menurut laporan tahunan BPOM banyak yang tidak memenuhi standar sanitasi dan higiene, atau tidak memiliki kapasitas untuk menerapkan Cara Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB).
Kurangnya fasilitas sanitasi di tempat produksi pangan sering kali ”memaksa” industri untuk menggunakan bahan kimia yang tidak aman; seperti formalin, racun kimia yang tidak seharusnya digunakan dalam penyiapan pangan.
Cukup banyak penelitian yang mengungkap bahwa konsumsi pangan terkontaminasi demikian itu berkaitan dengan tingginya prevalensi tengkes.
Kurangnya fasilitas sanitasi di tempat produksi pangan sering kali ”memaksa” industri untuk menggunakan bahan kimia yang tidak aman; seperti formalin, racun kimia yang tidak seharusnya digunakan dalam penyiapan pangan.
Hari keamanan pangan dunia
Dalam konteks itulah, sangat penting Indonesia menyambut dan menggunakan momentum HKPD ini menjadi tonggak percepatan penurunan tengkes, terutama meningkatkan kesadaran semua pelaku yang terlibat tentang pentingnya keamanan pangan.
Secara khusus, tahun ini (2023) HKPD diperingati dengan tema “Standar Pangan Menyelamatkan Kehidupan” (Food Standard Saves Life). Hal ini sangat relevan, terutama menyelamatkan kehidupan generasi mendatang dari risiko tertinggal karena kinerja kognitif dan produktivitas yang lebih rendah.
Dalam hal ini, tujuan menjamin pemenuhan asupan gizi untuk menurunkan prevalensi tengkes perlu secara eksplisit disertai penjaminan keamanan pangan, sesuai standar pangan keamanan pangan.
Intervensi penjaminan pemenuhan asupan gizi dengan tidak/kurang memperhatikan standar keamanan pangan, perlu dihindari karena hal tersebut menimbulkan risiko sakit yang justru kontraproduktif dengan tujuan penurunan prevalensi tengkes.
Keamanan pangan ini dimulai dari perencanaan pangan untuk intervensi spesifik, dan berlanjut melalui pemilihan, pembelian bahan baku, proses pengolahan, pengemasan, distribusi, penyimpanan, hingga konsumsi.
Karena itu, untuk memfasilitasi pencapaian target penurunan tengkes jadi 14 persen pada 2024, penting bagi semua tahapan penanganannya untuk mengikuti standar keamanan pangan yang telah ditetapkan. Karena, pertama dan utama, pangan memang harus aman.
sumber: https://www.republika.id/posts/42149/standar-pangan-dan-penurunan-tengkes