WHO memperkirakan, setiap tahun 600 juta orang di dunia jatuh sakit karena pangan yang tak aman atau terkontaminasi.
Keamanan pangan, kesiapsiagaan untuk kondisi yang tidak terduga atau Food Safety, prepared for the unexpected menjadi tema Hari Keamanan Pangan Sedunia yang diperingati pada 7 Juni. Tanggal peringatan itu berdekatan pula dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni.
Perubahan iklim menjadi isu krusial pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang kali ini mengusung tema ”Land restoration, desertification and drought resilience”. Isu pangan dan lingkungan hidup tentu sangat berkaitan dan signifikan bagi keberlanjutan kehidupan manusia.
Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan sudah banyak dibahas dan dialami, termasuk di Indonesia. Ketidakberhasilan panen, misalnya, diidentifikasi akan terjadi di Indonesia. Namun, kaitan antara perubahan iklim dan keamanan pangan belum banyak dibahas. Padahal, keamanan pangan juga merupakan prasyarat dasar ketahanan pangan.
Pertama dan utama, pangan harus aman. Dalam hal ini, patut diapresiasi bahwa Badan Pangan Nasional sering mengingatkan dengan tagar #kalautidakamanbukanpangan dalam berbagai bentuk komunikasinya.
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan dinyatakan bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.
Berbagai bukti yang mulai terkumpul mengindikasikan bahwa perubahan iklim, terutama perubahan ekosistem dengan adanya kenaikan suhu dan kelembaban, akan memperburuk keamanan pangan. Selain itu, dinyatakan pula bahwa dampaknya bersifat sangat kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Kondisi itu dapat memunculkan kejadian keamanan pangan yang sifatnya tidak terduga.
Saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 600 juta orang (1 dari setiap 10 orang) di dunia jatuh sakit setelah mengonsumsi pangan tak aman atau terkontaminasi. Sebanyak 420.000 di antaranya bahkan berujung kematian.
WHO juga memperkirakan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan tambahan sekitar 250.000 kematian per tahun pada periode 2030-2050, termasuk kematian karena problem keamanan pangan. Ini terutama yang berkaitan dengan bahaya mikrobiologi dan kimia. Kondisi ini tentu dapat mengancam keberlanjutan berbagai aspek kehidupan lainnya.
Keamanan mikrobiologi
Perubahan iklim, khususnya peningkatan suhu (dan kelembaban), akan memengaruhi kemampuan berbagai bakteri patogen untuk bertahan dan/atau tumbuh. Salmonella spp dan Campylobacter spp dikenal mampu tumbuh dengan baik pada kondisi hangat dan basah. Perubahan iklim diduga akan menyebabkan daerah dengan iklim hangat dan basah semakin meluas di dunia sehingga ancaman patogen pada pangan akan semakin meluas pula.
Secara khusus, untuk patogen dengan low-infective doses, perubahan kecil pada iklim dapat menyebabkan perubahan risiko keamanan pangan yang nyata. Patogen ini mampu menyebabkan penyakit hanya dalam jumlah sel sedikit, seperti beberapa strain E.coli spp serta Norovirus.
Suhu hangat (dan/atau lama paparan pada suhu hangat) juga akan meningkatkan laju pertumbuhan beberapa bakteri penyebab penyakit.
Suhu hangat (dan/atau lama paparan pada suhu hangat) juga akan meningkatkan laju pertumbuhan beberapa bakteri penyebab penyakit. Publikasi WHO (2017) menyatakan bahwa di Eropa, setiap kenaikan suhu lingkungan sebesar 1 derajat celsius akan menyebabkan Salmonellosis (penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella) meningkat 5–10 persen.
Laporan yang sama juga memprediksi bahwa di Kazakhstan peningkatan itu akan mencapai 5,5 persen. Demikian pula yang terjadi dengan Campylobacter spp. Kenaikan suhu yang terjadi di Kanada pada 2055 diperkirakan akan mencapai 4,5 derajat celsius dan hal itu dapat menyebabkan penambahan campylobacteriosis sebesar lebih dari 4.000 kasus per tahun.
Bahaya kimia
Peningkatan suhu, yang juga terjadi pada air laut, disertai dengan peningkatan limpasan air permukaan (membawa hara dan lain-lain) menyebabkan terjadinya peristiwa Algal Bloom atau sering disebut sebagai Harmful Algal Bloom (HAB). Jenis alga tertentu akan melepaskan racun ke air, juga menyebabkan pengurangan kadar oksigen terlarut, menurunkan pH air, serta dapat menyebabkan banyak organisme air mati.
HAB dapat memproduksi racun phycotoxins yang dapat terakumulasi pada berbagai pangan laut atau seafood. Kekerangan (mussels dan clams) yang merupakan water-filtrating organisms, adalah salah satu pangan laut yang rentan terkontaminasi phycotoxins.
Kasus keracunan phycotoxin oleh seafood yang paling banyak dilaporkan adalah oleh racun ciguatoxins (CTXs). Dilaporkan bahwa kejadian luar biasa keracunan ciguatoxins meluas secara geografi kerana perubahan iklim ini. Selain kekerangan, salah satu jenis ikan yang diketahui dapat menjadi sumber CTXs adalah ikan kakap (Snapper, Lutjanidae), yang merupakan komoditas ekspor Indonesia.
Bahaya kimia yang juga perlu dikendalikan dengan baik adalah mikotoksin, yaitu toksin yang diproduksi berbagai jenis jamur, terutama Aspergillus, Fusarium, dan Penicillium. Prevalensi global kontaminasi mikotoksin produk pangan (pertanian) saat ini mencapai 25 persen serta dapat meningkat untuk daerah iklim panas dan basah.
Prevalensi global kontaminasi mikotoksin produk pangan (pertanian) saat ini mencapai 25 persen serta dapat meningkat untuk daerah iklim panas dan basah.
Pertumbuhan jamur dan produksi mikotoksin ini dapat terjadi pada tahap prapanen ataupun pascapanen. Pada 2008, Organisasi Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa perubahan iklim menyebabkan kadar air biji/serealia saat panen mencapai lebih dari 12-14 persen. Hal itu lebih mendukung pertumbuhan jamur dan pembentukan mikotoksin.
Kondisi ini memprihatinkan karena sangat meningkatkan risiko keamanan pangan. Baik yang disebabkan paparan mikotoksin secara langsung (konsumsi pangan terkontaminasi mikotoksin) maupun tidak langsung (konsumsi pangan asal hewan, seperti susu, daging, telur) dengan pakan terkontaminasi.
Baca juga: Penguatan Sistem Keamanan Pangan
Peningkatan suhu dan curah hujan serta kenaikan suhu air laut meningkatkan jumlah kontaminan dari tanah ke badan air. Sisa pestisida, pupuk, logam berat, dan berbagai senyawa Polutan Organik Persisten (POPs) akan lebih menyebar dan dapat mencemari tanah pertanian yang akan mengancam keamanan pangan nabati atau mencemari badan air yang akan meningkatkan risiko keamanan pangan hasil perairan.
Secara khusus, perhatian perlu diarahkan pada metil-merkuri (MeHg): Kenaikan suhu air laut mendorong proses metilasi merkuri (Hg) menjadi metil-merkuri yang sangat beracun dan mudah terakumulasi dalam organisme hidup. Hal ini akan berdampak pada keamanan pangan ikan.
Simulasi kenaikan suhu laut sebesar 0,4 derajat celsius akan menyebabkan kenaikan kandungan MeHg pada ikan meningkat sebesar 1,7 persen (1,6 persen–1,8 persen). Adapun jika kenaikan suhu mencapai 1,0 derajat celsius, maka kebaikan itu dapat mencapai 4,4 persen (4,1 persen–4,7 persen).
Dampak kesehatan jangka panjang akibat paparan mikotoksin dan logam berat perlu mendapat perhatian yang besar.
Skenario yang sama dapat pula terjadi pada beberapa logam berat lainnya, seperti timbal, kadmium, dan tembaga. Keberadaan logam berat terlarut ini dapat diserap oleh biota laut (seperti plankton) dan kemudian dimakan oleh ikan kecil, yang selanjutnya dimakan oleh ikan yang lebih besar. Pada akhirnya, manusia dapat mengonsumsi ikan yang terkontaminasi logam berat dan berisiko mengalami dampak kesehatan yang merugikan.
Jadi, perubahan iklim yang terjadi juga nyata berdampak buruk pada keamanan pangan. Perubahan iklim dapat meningkatkan risiko penyakit bawaan makanan (foodborne diseases) akibat kontaminasi mikrobiologi dan kimia.
Dampak kesehatan jangka panjang akibat paparan mikotoksin dan logam berat perlu mendapat perhatian yang besar. Oleh karena itu, isu keamanan pangan perlu mendapat perhatian yang cukup, sekaligus perlu pula diupayakan mitigasi dan adaptasinya, untuk melindungi kesehatan manusia.
*Purwiyatno Hariyadi,Guru Besar Teknologi Pangan IPB dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mantan Vice-Chairperson, Codex Alimentarius Commission, 2017-2021
Editor:NUR HIDAYATI